Stigma dari Nakes Hambat Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak


Radian Nyi Sukmasari - detikHealth

Jakarta - Untuk mencegah penularan HIV-AIDS dari ibu ke anak, mengetahui status si ibu positif HIV atau tidak penting dilakukan. Sayang, masih adanya stigma dari tenaga kesehatan (nakes) seperti perawat dan bidan dapat menghambat upaya pencegahan tersebut.

Prof Dra setyowati, SKp, M.App.Sc, PhD menuturkan, walaupun tidak semua ibu hamil terinfeksi HIV, tapi ketika dia tahu statusnya
positif, maka si ibu bisa mendapat petunjuk apa yang mesti dilakukannya dari tenaga kesehatan seperti perawat dan bidan. Hanya
saja, ketika masih ada stigma dari si perawat atau bidan, ibu bisa malu untuk mengetahui statusnya.

"Orang dengan HIV-AIDS (ODHA) dia mengalami stigma dan diskriminasi tidak hanya di kelompoknya saja tapi juga di komunitas dan institusi
pelayanan kesehatan oleh perawat dan tenaga lain," kata Prof Wati dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (UI) di Balai Sidang UI, Depok, Jawa Barat, Sabtu (16/1/2016).

Hal inilah yang menurut Prof Wati membuat ibu tidak mau terbuka dengan statusnya sehingga dia tidak mengonsumsi antiretroviral (ARV) dan akibatnya, risiko penularan HIV-AIDS ke calon anaknya pun tinggi.

Dalam penelitian Prof Wati dan tim yang berjudul 'Pencegahan Penularan HIV-AIDS di Lingkungan Ibu Rumah Tangga dengan Pemberdayaan Petugas Kesehatan dan Pelibatan Keluarga di Indonesia' , ditemukan bahwa masih kuatnya stigma dan diskriminasi yang dialami wanita ODHA dari keluarga, masyarakat, ataupun tenaga kesehatan.

Meski pemahaman ODHA terhadap HIV-AIDS cukup baik dan mereka sudah berusaha teratur mengonsumsi ARV, stigma dan diskriminasi menimbulkan perasaan sulit berkomunikasi dengan tenaga kesehatan. Penelitian ini dilakukan di 7 provinsi di Indonesia dengan partisipan 10 orang tenaga kesehatan dan 140 wanita ODHA dari tiap

"Dari penelitian itu kita membuat 6 modul yang berisi di antaranya bagaimana pengelolaan wanita ODHA, bagaimana pendekatan dengan keluarga, bagaimana pendekatan budaya, serta bagaimana membuat kolaborasi antara LSM dengan tenaga kesehatan di puskesmas. Modul itu sudah kita berikan ke Kemenkes dan sebelumnya sudah diterapkan dalam workshop di lima provinsi," papar Prof Wati.

Prof Wati berpendapat, masih adanya stigma bahkan dari tenaga kesehatan bisa saja akibat kurangnya pemahaman tenaga kesehatan itu sendiri soal HIV-AIDS. Misalnya yang dipahami adalah HIV bisa menular melalui berpelukan, bicara, atau bersentuhan.

"Padahal kan nggak, hanya lewat pemakaian jarum suntik bersama atau cairan kelamin. Padahal pemahaman yang keliru memicu stigma dan diskriminasi akibatnya sulit untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak karena ibunya mau ke puskesmas sudah malu dan takut didiskriminasi dan mendapat stigma," kata Prof Wati.

Komentar

Postingan Populer